Suatu sore diteras rumah, seorang teman bertanya “enakan mana jomblo ato punya pacar, dit?”. Dan harapannya jawaban dari aq cukup bisa menyakinkan lagi tentang keputusan apa yang mo diambil besok. Coz dia rencananya besok mo mengluarkan statement atas apa yang dia rasakan saat ini, gol akhirnya seh kaya’nya mo mengakhiri hubungan ma pasangannya ato ngg’.

Hmm.., menjawab pertanyaan seperti itu harus hati-hati coz sangat relatif menurut aq. So aq coba tanya dia knapa kok sampai muncul pertanyaan seperti itu setelah kurang lebih 5 tahun dia jalanin hubungan bareng ma pasangannya. Ada beberapa point yang aq tangkap dari ceritanya, dan itu aq jadikan patokan untuk mengenali lebih detil permasalahan dan kondisinya. Secara keseluruhan bisa aq pisah jadi 3 point. Pertama, mungkin ini agak kurang kuat untuk dijadikan point of view yaitu: beberapa hari yang lalu dia merayakan ulang tahunnya sendiri, karena pasangannya ternyata g bs datang karena alasan dinas ditempat kerjanya. Dan disamping itu skrg frekwensi mereka cuman weekend aja ketemu itupun g tiap weekend. Kedua, karena posisi sekarang dia masih job seeker dan pasangannya dah lebih dulu bekerja di daerah asalnya. Ini yang menyebabkan frekwensi bertemu mereka berkurang. Ketiga, mungkin ini cuman kondisi/alasan pamanis dan penghibur yang dia lontarkan yaitu: dia ingin lebih bebas mencari wanita laen diluar sana..:p, tp itu blm dilakukan loh, secara dia mungkin masih setia dan menghormati hubungannya saat ini. Yup, Kalo alasan pertama kok kaya’nya childish banget, tp mungkin jg coz dia terbiasa dengan frekwensi ketemuan yang tiap hari tiap jam dulunya. Alasan ketiga nih jg mungkin efek dari alasan pertama, dan ini terancam semu dan sesaat. Aq lebih condong mengambil alasan kedua sebagai bahan tanggapanku ke dia. Bisa dikatakan mungkin sekarang dia lagi merasa “dibawah” dari pasangannya. Ya memang kalo diliat dari sisi pasangannya alasan ini g begitu menimbulkan masalah besar, ato bahkan bukan masalah sama sekali (seperti kata female ke aq ..:) ). Tapi aq mandangnya wajar dari sisi seorang lelaki. Bahwa kita butuh sesuatu yang bisa dijadikan parameter untuk diri kita sendiri, sesuatu yang bisa dijadikan patokan untuk mengukur eksistensi kita sendiri dan terhadap pasangan kita. Oleh karena itu aq ngerti bagi sebagian seorang pria ketika kondisi itu datang dan mencapai batas “saturasi” maka wajar ada kegelisahan bahwa: apakah aq bisa membahagiakan pasanganku kelak?, apakah pasanganku merasa benar” nyaman dengan kondisi q?, dan pertanyaan sejenis akan terus bermunculan dan berkembang. Dan itu biasanya seh perasaan gitu g bertahan lama, cuman mampir ajah..:).

Dari situ aq cuman memaparkan jawabanku secara implisit dari beberapa tanggapan” dan statement” yang aq buat. So smoga tertangkap maksud q bahwa memang kita kadang harus melawan kondisi, melawan keadaan yang ada. Ada satu ilustrasi tentang itu, pernah g kita terbiasa dengan suatu kondisi, kita tergantung dengan keadaan. Keadaan yang mengendalikan kita, dan bukan sebaliknya. Contoh seperti ini, ada beberapa orang suka dgn kondisi yang sepi (g bising), dengan ac ruangan 21 derajat, ruangan yang bersih rapi, tidak ada kertas berserakan dimeja sewaktu dia bekerja. Gimana ketika kondisi sebaliknya yang ditemui?, apakah kita yang akan pergi dari ruangan itu ato kita tetap berada diruangan itu dan bekerja. Smua tergantung kita, apakah kita bisa survive ato tidak. Orang yang bisa bertahan adalah orang yang bisa menyesuaikan diri dan mencoba mengendalikan keadaan. Mengendalikan keadaan disini bukan berarti merubah secara fisik kedalam bayangan ideal kita. Tp bagaimana kita me maintenance diri berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Mempelajari dan mencari lagi kondisi ideal didalam situ.

Keputusan seharusnya bukan berasal dari kondisi atau keadaan yang tercipta, akan lebih wise jika kita melihat sudah sejauh mana kita berusaha melawan keadaan itu, bagaimana kita menyikapinya dan bagaimana kita bisa berkompromi dengan kondisi itu..:).