Berawal dari diskusi singkat disela-sela waktu kantor dengan Bapak Thoib Soebhanto, Tenaga Ahli Sosial (Social Expert) dikantorku, yang juga mengampu mata kuliah Ilmu Sosial di salah satu Universitas di Jogja. Sebelumnya aq kasih ilustrasi cerita singkat seperti ini:

Ada 2 bersaudara, sebut Gaisa yang duduk dikelas 3 SD dan Sasya yang baru masuk bangku SD. Mereka baru saja dibelikan roti oleh bundanya 1 untuk Gaisa dan 1 untuk Sasya. Dan kebetulan Gaisa telah menghabiskannya sesaat setelah dia menerima roti itu. Lain halnya dengan Sasya yang akan menyimpannya sampai lapar nanti. Dan tiba saatnya Gaisa merasa perutny memanggil ketika dia melihat adiknya menikmati roti pemberian bundany. “Dede’, teteh minta dong..”. Dan spontan dede’ (panggilan adik) menjawab, “G mau, kan punya teteh dah abis. Ni tinggal 1 buat dede’.”.

Hm., secara short minded, “berbagi” bisa diterapkan ketika kita mempunyai barang lebih dari 1 dan harus sama rata. Jika 2 dibagi menjadi kamu 1 aq 1. Dan namanya 1 (satu) itu g bisa dibagi. Ternyata menurut beliau (Thoib Soebhanto) kebudayaan seperti ini masih ada di masyarakat kita. Dan kita mungkin waktu kecil pernah mengalami kejadian seperti ilustrasi cerita diatas dengan saudara kita, bahkan sampai salah satu diantaranya menangis karena berebut sesuatu.

Produk seperti apa yang dihasilkan dari konstruksi kebudayaan lama diatas?. Bahwa ketika kita selalu menghitung 1 ini punyaq, aq punya 2 ni.. aq bagi kamu satu aq satu. Secara tidak langsung kita terdidik demikian, mindset yang berkembang tanpa kita sadari mengikuti apa yang kita alami dimasa kecil kita dl. Ketika mau berbagi harus melalui proses pemikiran dan perhitungan: “punyaq yang mana ya?”, “yang mana yang akan aq bagi?” atau “berapa ya enakny pembagianny?”, dll. Trus apa yang terjadi kemudian?, kita nunggu punya banyak, baru mau berbagi. Kita nunggu kaya, baru mau berbagi. Kita nunggu punya uang banyak, baru mau bersedekah. Kita nunggu punya uang yang cukup, baru mau memberi ke pengemis di jalan. Nah dan namanya manusia kadang g pernah ngrasa cukup, susahny bersyukur terhadap apa yang dah dia punya sekarang. Trus kapan mau berbagi?, kapan mau memberi?, kapan mau bersedekah?.

Fenomena seperti ini yang mungkin harus dilakukan rekonstruksi ulang. Agar output kebudayaan menjadi lebih mempunyai nilai-nilai yang positif bagi kehidupan kita kelak. Bahwa kita harus jeli dalam menanamkan nilai-nilai kebudayaan sejak dini di kehidupan sehari-hari. Dan tentuny terhadap anak” kita kelak, coz susah loh menanamkan nilai seperti ini ke anak”. Seperti pengakuan P. Thoib yang merasa perlu kesabaran untuk sedikit demi sedikit menerapkan nilai ini ke anak” dikeluargany. Alhamdulillah dikeluargany sekarang; anak”ny setiap mempunyai apa saja mesti kepikiran ke teteh atau dede’ny, apakah yang lain juga kebagian atau ngg’, dan mau membaginy biar semua kebagian dan merasakan. Ketika punya mainan, mengajak yang lain agar ikut main biar merasakan juga mainanny. Hmm., pendidikan keluarga yang bisa kita contoh..:). Dan pentingany nilai “berbagi”, bahwa berbagi tidak terbatas dengan jumlah atau kuantitas belaka. 1 (satu) pun masih bisa dibagi, berapapun dan apapun masih bisa kita bagi.