Tembok itu tepat berada didepan wajah yang tidak bisa menunjukan apa yang dirasa melalui bahasa mata,mulut dan telinga. Dan selangkah kaki beranjak kebelakang, ingin melihat seluas apa tembok itu dan membayangkan ketebalan dari penampakan permukaannya. Seorang malaikat berbisik memberi gambaran apa dibalik itu. Sekelompok anak kecil riang sedang bermain lompat tali dihalaman rumput hijau. Beberapa diantaranya masih didampingi ibunya dari jarak yang tak jauh dengan muka tersenyum memberikan harapan suci sepenuhnya pada riang yang dipancarkan dari anaknya. Sebelum pergi malaikat itu berkata, “Kamu bisa melihatnya dengan pasanganmu, karena kamu tidak bisa begitu jelas melihatnya.”.

Dia melihat dan merasakan dengan benar, apa yang ada pada dirimu. Tapi dia tidak bisa menyentuhnya, karena terlapis dengan selembar kewajiban keyakinan yang ada. Entah datang dari mana sebuah ketakutan untuk melangkah dan menengok dari celah keberanian. Dan kebutuhan itu datang, karena dia tidak bisa dengan lancar menjelaskan arti kata “Cinta”. Berlindung dibawah kata keabadian dan kepercayaan dia mengerti dan bertindak, ketika semua perjalanan hidupnya membentuk semua pemikiran-pemikiran yang sebelumnya diluar keterbatasan manusia. Tentang apa, siapa, dimana dan bagaimana. Kesempurnaan tidak tumbuh secara instant, mereka menyertai perjalanan yang dipilih untuk dilalui. Dan ketidaksempurnaanpun tidak memberi batasan untuk misahkan diri dari kesempurnaan yang terbayang, karena dia bisa mengalah berubah menjadi kesempurnaan itu.



*duh., sori lagi kumat..